Sabtu, 03 Januari 2009

KEKUATAN MENGIKAT STANDAR KONTRAK DI TINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA

A. Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang tidak pernah luput dari melakukan transaksi ekonomi, baik dalam skala besar, menengah, sampai skala kecil. Dalam transaksi ekonomi tersebut setiap orang memerlukan piranti untuk memberikan kejelasan dalam aspek hukumnya tentang batasan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan pada suatu transaksi ekonomi. Piranti yang dimaksudkan adalah berupa kontrak[1]. Kontrak merupakan perjanjian yang diwujudkan dalam naskah berupa tulisan tentang suatu transaksi ekonomi yang memberikan gambaran atas komitmen yang dibuat oleh para pihak.Kata komitmen disini bermakna bahwa masing-masing pihak telah menentukan hak dan kewajiban yang disampaikan guna dilaksanakan melalui suatu kontrak. Konsekuensi dari tidak dipenuhinya komitmen yang telah dibuat oleh para pihak atau salah satu pihak adalah dilanggarnya norma hukum dalam hal ini adalah hukum perjanjian yang merupakan bagian dari hukum perdata. Apabila telah dilanggarnya suatu norma hukum tentu memiliki akibat hukum yaitu berupa dijatuhinya sanksi baik berupa pemberian denda atau ganti rugi kepada pihak yang melanggarnya.Adapun kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam melaksanakan suatu perjanjian dewasa ini mengalami perkembangan, baik dalam wujudnya maupun dalam proses menuju kata sepakat. Bila dahulu kontrak dibuat oleh para pihak dengan pembahasan secara detail artinya dibahas secara per pasal atau tiap pasal atau klausula di buat oleh para pihak tanpa adanya bentuk paksaan dari pihak lain untuk menerima ketentuan yang dibuatnya. Namun sekarang kontrak telah dibuat sedemikian rupa sehingga telah tersusun dan para yang hendak mengikatkan diri cukup membubuhi tanda tangan sebagai simbol telah disepakatinya suatu kontrak, atau dengan maraknya perkembangan eletronic commerce[2] (penulis : transaksi yang dilakukan dengan perantara media elektronik) dikenal juga kontrak yang diselenggarakan oleh suatu pihak melalui jasa internet, dimana salah satu pihak menawarkan produk jasa atau barang dengan cara melakukan pemesanan via kontrak online[3]. Kontrak online adalah kontrak yang dilakukan oleh suatu pihak penawar dengan cara menyiapkan naskah kontrak yang bentuknya berupa file tulisan pada sistem internet/komputer dan bila perlu dapat dicetak pada kertas bagi pihak yang membutuhkannya atau digunakan sebagai arsip tertulis bagi para pihak terutama pihak yang menerima kontrak tersebut. Dengan demikian kesepakatan atas suatu kontrak ditentukan pada saat kedua pihak atau terutama pihak penerima kontrak menyetujui isi kontrak yang dibuat oleh pihak penawar kontrak/pembuat kontrak. Hal ini dalam khasanah ilmu hukum disebut dengan standar kontrak. Standar kontrak adalah kontrak yang dibuat oleh salah satu pihak dimana hasil dari konsep kontrak yang dibuatnya kemudian ditawarkan kepada pihak lain yang hendak menggunakan jasa atau barang yang ditransaksikan tanpa diberikan kesempatan bagi pihak penerima kontrak tersebut untuk merundingkan isi kontrak tersebut.. Standar kontrak secara nyata dalam kehidupan sehari-hari dapat dijumpai dalam bentuk karcis pertunjukan, tiket kereta api, pesawat, sampai dengan kontrak pengajuan kredit pada bank atau perjanjian dalam rangka membuka rekening tabungan di bank atau penyertaan modal dalam pasar modal atau bursa efek.Bila ditinjau dari aspek hukum, kontrak adalah manifestasi atau salah satu bentuk dari perjanjian. Perjanjian yang dibuat dengan cara menuliskan masing-masing kehendak dari para pihak. Berkaitan dengan hal ini perlu diingat ketentuan pasal tentang syarat sahnya suatu perjanjian dalam hukum positif di Indonesia yaitu Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :[4]Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;Cakap untuk membuat suatu perjanjian;Mengenai suatu hal tertentu;Suatu sebab yang halal.Dari empat syarat tersebut standar kontrak bila dilakukan dengan tetap memperhatikan empat syarat sahnya perjanjian maka di mata hukum standar kontrak tersebut adalah sah. Namun demikian perlu untuk dikaji lebih lanjut tentang daya ikat secara hukum tentang standar kontrak ini terutama berkaitan dengan unsur kesepakatan dan keterpaksaan dalam hati bagi salah satu pihak yang sebenarnya secara formal sulit untuk dibuktikan.


B. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada pendahuluan di atas timbul permasalahan yang berkaitan dengan daya ikat standar kontrak yaitu berupa :1. Apakah standar kontrak sah menurut hukum perjanjian di Indonesia ? 2. Bagaimanakah daya ikat standar kontrak ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia ?


C. Pembahasan

Untuk membahas permasalahan yang dikemukakan di atas, tentu sebelumnya diperlukan gambaran hukum perjanjian di Indonesia. Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata yaitu tentang Perikatan (van Verbintenis)[5]. KUH Perdata itu sendiri merupakan produk hukum dari kolonial Belanda semasa menduduki Indonesia[6]. Adapun keberlakuan KUH Perdata adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV. Dimana pada Pasal tersebut menentukan : “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”Adapun istilah perikatan sebagaimana diungkapkan di atas mempunyai arti lebih luas bila dibandingkan dengan istilah perjanjian, sebab dalam Buku III KUH Perdata diatur juga tentang hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber dari perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad[7]) dan perihal perikatan yang timbul karena pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming[8]). Tetapi sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, oleh karena itu Subekti berpendapat bahwa Buku III KUH Perdata berisikan hukum perjanjian. Adapun masih menurut pendapat Subekti perbedaan istilah perikatan dan perjanjian adalah sebagai berikut, “Perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkret.”Secara yuridis formal perikatan dijumpai pada Pasal 1234 KUH Perdata : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”Subekti berpendapat yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku III KUH Perdata itu, ialah : “Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.” Adapun hal-hal yang dapat dituntut melalui suatu perikatan disebut dengan prestasi, yang menurut KUH Perdata prestasi berwujud sebagaimana diatur pada Pasal 1234 KUH Perdata di atas.Perlu diketahui sifat keberlakuan norma selain ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata pada Buku III KUH Perdata ini adalah fakultatif artinya tidak harus untuk diikuti secara per se[9]. Hal inilah yang dalam literatur hukum perjanjian dikatakan sebagai sistem terbuka[10]. Selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata maka perjanjian tersebut adalah sah di mata hukum.Pengertian perjanjian secara yuridis formal diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”Bertalian dengan permasalahan tentang standar kontrak di atas, terdapat beberapa pandangan sarjana tentang keabsahan standar kontrak/perjanjian baku antara lain pendapat :[11]Sluijter : “perjanjian baku bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha adalah seperti pembentuk undang-undang swasta.”Pitlo : “perjanjian baku adalah perjanjian paksa.”Stein : “Perjanjian baku dapat diterima sebagai fiksi adanya kemauan dan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian.”4. Asser Rutten : “ Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggungjawab terhadap isinya. Tanda tangan pada formulir perjanjian baku membangkitkan kepercayaan bahwa yang menandatangani mengetahui dan menghendaki isi formulir perjanjian.” Menurut penulis bila standar kontrak tersebut dibuat dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata maka standar kontrak tersebut menjadi sah di mata hukum. Namun perlu dipahami bila mengangkat permasalahan tentang standar kontrak yang menjadi persoalan utamanya adalah kesederajadan kualitas para pihak di mata hukum, artinya bahwa sudahkah sejatinya para pihak yang melaksanakan suatu standar kontrak dilandasi kesepakatan dengan ‘kerelaan’[12] dari kehendak masing-masing atau salah satu pihak atas suatu standar kontrak tersebut.Unsur kerelaan dalam berkontrak memang secara jelas dan tegas tidak menjadi syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun bila dilihat dalam ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”Selain itu berturut-turut perlu juga diindahkan ketentuan Pasal 1323, 1324, dan Pasal 1325 KUH Perdata .Pasal 1323 KUH Perdata :“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan (penulis : perjanjian), juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat.”Pasal 1324 KUH Perdata :“Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang dapat berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.”Pasal 1325 KUH Perdata :“Paksaan mengakibatkan batalnya suatu persetujuan tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau isteri atau sanak-keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah.”Maka berdasarkan Pasal 1321, 1323, 1324 dan 1325 KUH Perdata secara tegas jelas bahwa unsur paksaan dalam rangka mencapai kata sepakat adalah dilarang oleh hukum perjanjian di Indonsia. Namun mengenai unsur paksaan pada praktik standar kontrak di Indonesia ini belum dapat tebukti adanya unsur paksaan menurut aturan formal hukum perjanjian itu sendiri.Adapun lahirnya konsep standar konrak itu sendiri dipayungi oleh hukum perjanjian di Indonesia melalui ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata.Pasal 1338 KUH Perdata :“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”Dari sudut pandang hukum positif standar kontrak mendapat legalitas atau dipandang sah, tentu saja standar kontrak tersebut menjadi memiliki daya ikat dari aspek hukum bagi para pihak yang membuatnya. Standar kontrak sah secara hukum selama ia mengindahkan norma hukum perjanjian yang diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut penulis sah tidaknya standar kontrak tidak dapat terlepas dari teori tentang kesepakatan dalam hukum perjanjian. Hal ini karena dalam standar kontrak terdapat ‘aturan main’ bahwa bila pihak penawar atau pembuat standar kontrak itu mengajukan penawaran kepada pihak lain, maka pihak lain itu memiliki kebebasan dalam menentukan sikap[13], apakah ia setuju dan kemudian menandatangani isi kontrak atau bila ia tidak setuju dengan isi klausul yang diajukan kepadanya, ia dapat menolak dengan cara tidak menandatangani atau meninggalkan tempat dimana pihak penawar standar kontrak itu berada, baik di alam nyata maupun dalam dunia maya berupa kontrak online yang lazim dijumpai dalam perspektus saham atau berbagai bentuk standar kontrak bisnis secara online yang ditawarkan oleh jasa multi level marketing[14] atau pihak penjual jasa atau barang lainnya.Adapun macam-macam teori tentang terbentuknya kesepakatan yaitu : [15]1. Ontvang Theorie, yaitu dalam teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan itu terbentuk sejak detik diterimanya penawaran oleh pihak penerima, atau disetujuinya kontrak oleh kedua belah pihak.2. Wills Theorie, yaitu dalam teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan timbul sejak adanya kehendak dari para pihak yang melakukan perjanjian.3. Verneming Theorie, yaitu dalam teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan lahir jika pihak penawar telah menerima isyarat disetujuinya penawaran dari pihak yang menerima penawaran.4. Vertrouwen Theorie, yaitu dalam teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan itu ada sejak secara kelaziman atau kebiasaan masyarakat menyatakan bahwa sikap seseorang menunjukkan bahwa ia telah menyetujui isi perjanjian atau menerima perjanjian yang ada dihadapannya..Dari keempat macam teori tentang terbentuknya kesepakatan, Ontvang Theorie adalah teori yang dianut oleh KUH Perdata. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1458 KUH Perdata :“Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”Dari kata-kata ‘seketika setelah mereka mencapai sepakat’ maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pembentukan kesepakatan KUH Perdata menganut Ontvang Theorie.Kembali kepermasalahan tentang daya ikat standar kontrak. Dalam standar kontrak terdapat persoalan yang lebih mendasar adalah karena standar kontrak dibuat secara sepihak, maka perjanjian tersebut cenderung mencantumkan hak dan kewajiban yang tidak seimbang. Seperti adanya klausula eksonerasi atau dalam sistem common law disebut exculpatory clause[16]. Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengalihkan tanggung jawab dari suatu pihak ke pihak lainnya, misalnya penjual tidak mau bertanggung jawab atas kualitas barang yang dijualnya, sehingga dicantumkan klausula bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan[17]. Demikian juga pengelola parkir yang tidak mau bertanggung jawab atas kehilangan kendaraan yang di parkir di wilayah yang dikelolanya. Klausula eksonerasi dapat ditemukan pada perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha maupun antara pelaku usaha dengan konsumen.Bila telaah dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berpendirian bahwa perjanjian baku/standar kontrak adalah sah, akan tetapi undang-undang ini melarang pencatuman klausula baku yang bersifat berat sebelah dan jika dicantumkan dalam perjanjian, maka klausula baku tersebut adalah batal demi hukum. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan klausula baku yang dilarang untuk dicantumkan pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, yaitu :[18]a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual-beli jasa;g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula seperti ini juga batal demi hukum.Adapun standar kontrak dalam praktek sehari-hari lebih diarahkan untuk mendapat efisiensi dalam hal mencapai kesepakatan antara para pihak sehingga bila tercapai efisiensi waktu dalam proses pencapaian kesepakatan maka secara ekonomis tercapai pula target kerja berupa efektifitas kerja, atau dengan kata lain terwujudnya penghematan dari aspek waktu dan biaya yang akan ditanggung perusahaan. Selain itu standar kontrak menurut penulis berguna dalam hal memberikan perlakuan yang sama atau sikap egaliter bagi setiap orang hendak mengadakan kontrak dengan suatu usaha jasa atau penjualan barang, sehingga asas equality before the law dapat diakomodir melalui standar kontrak ini, dengan catatan standar kontrak tersebut tidak merugikan pihak yang berposisi sebagai penerima kontrak.


D. Kesimpulan

1. Standar kontrak sah menurut hukum perjanjian di Indonesia hal ini disebabkan karena adanya asas kebebasan berkontrak yang diatur melalui ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.

2. Dikarenakan standar kontrak didasarkan pada kesepakatan, yang jika memperhatikan aturan dalam hukum perjanjian di Indonesia menganut Ontvang Theorie, maka setiap hal-hal yang telah disepakati oleh para pihak, maka kesepakatan yang sah di mata hukum atas suatu kontrak termasuk juga di dalamnya standar kontrak, berlaku mengikat layaknya undang-undang bagi para pihak yang melaksanakan kontrak tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Joni Emirzon, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 1998

Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Cetakan II

Riyeke Ustadiyanto, Framework e-Commerce, Andi, Yogyakarta, 2001

Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, Cetakan XVI

---------, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1995,Cetakan XXVII

Suharnoko, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2005, Cetakan ke-3

Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1981


Peraturan Perundang-undangan

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradya Paramita, Jakarta, 1981, Cetakan ke-14

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

[1] Joni Emirzon, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 1998, Hlm.1

[2] Menurut penulis electronic commerce tidak hanya terbatas pada perangkat yang menggunakan jasa internet saja namun juga meliputi jasa pesan singkat melalui telepon genggam, telepon konvensional (rumah), atau benda lainnya yang menggunakan energi listrik.

[3] Lihat juga pendapat Riyeke Ustadiyanto, Framework e-Commerce, Andi, Yogyakarta, 2001, Hlm.122

[4]Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradya Paramita, Jakarta, 1981, Cetakan ke-14, Hlm. 305

[5] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1995,Cetakan XXVII, Hlm.122-123

[6] M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Cetakan II, Hlm.3

[7] Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, Hlm.268

[8] Marjanne Termorshuizen, Ibid. Hlm.550

[9] Penulis dalam hal ini mengartikan kata per se sebagai detail perilaku para pihak yang dituang ke dalam pasal-pasal dalam kontrak.

[10] Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, Cetakan XVI, Hlm. 13

[11] Suharnoko, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2005, Cetakan ke-3, Hlm. 124-125

[12] Yang penulis maksudkan dengan kerelaan di sini bukan saja terbatas pada aspek fisik berupa tindakan penandatanganan kontrak tetapi juga aspek metayuridis yaitu kesadaran hokum untuk secara ikhlas melaksanakan hal-hal yang telah dituangkan dalam kontrak.

[13] Lihat juga pendapat Suharnoko dalam Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Ibid. Hlm.124

[14] Multi level marketing adalah penjualan barang atau jasa yang dilakukan secara berantai dan memiliki pola khusus dalam hal rekrutmen keanggotaan dalam rangka pemasaran produk yang diperdagangkan.

[15] Bandingkan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1981, Hlm. 28-29

[16] Suharnoko, Ibid. Hlm.125

[17] Suharnoko, Loc.cit.

[18] Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sebuah Analisis Tentang Spin Off

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar BelakangDalam kegiatan sehari-hari setiap orang, tidak dapat terlepas dari aspek ekonomis. Keterikatan terhadap aspek ekonomi ini disebabkan karena dalam aspek tersebut tergambar sisi yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang khususnya dalam hal pemenuhan dasar kebutuhan setiap orang, baik yang bersifat materi/barang, maupun dalam bentuk immateri/jasa. Kebutuhan orang dari sisi ekonomi ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu dilakukan secara perindividu secara langsung tanpa perantara orang atau perangkat lain yang bertujuan sebagai media guna pemenuhan kebutuhan orang tersebut.Dalam hal pemenuhan manusia dilakukan secara individu yaitu dilakukan tanpa memerlukan suatu lembaga ekonomi yang berupa badan usaha, maka biasanya memiliki usaha yang relative lebih kecil dan sederhana dalam hal pola kerjanya disebabkan wadah aktifitas ekonominya itu sendiri adalah dalam bentuk yang sederhana, hal ini berbeda bila suatu aktifitas seorang atau sekelompok orang yang dilakukan dengan menggunakan saran media ekonomi berupa badan usaha, maka biasanya aktifitas ekonominya berskalamenengah ke atas. Secara logis dapat dijelaskan bahwa semakin formal di mata hukum media ekonomi yang digunakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan dari aspek ekonomi maka akan semakin kompleks pula instrumen yang terkait dalam pola usaha tersebut.Kekompleksitasan itu disebabkan karena banyaknya instrument baik dari sisi hukum maupun dari sisi ekonomi yang terlibat didalamnya yang memerlukan perlakuan dan perhatian lebih serius lagi. Dikatakan harus lebih serius lagi bila dibandingkan dengan menjalankan aktifitas ekonomi tanpa wadah yang formal dari mata hukum karena apabila ada sedikit saja unsur dalam salah satu wadah formal di bidang ekonomi yang dijadikan tempat untuk pelaksanaan tujuan ekonomi tentu akan mengakibatkan gangguan atau bahkan kehancuran bagi sistem atau wadah ekonomi tersebut. Wadah ekonomi yang penulis maksud di sini adalah badan usaha baik yang berstatus badan hukum maupun yang tidak berstatus badan hukum. Perlu diingat kembali bila memperhatikan subjek hukum terutama subjek hukum yang bernama rechtspersoon[1], terdapat pembagian secara umum sebagai berikut :Rechtspersoon yang berstatus badan hukum; danRechtspersoon yang berstatus bukan badan hukum.Untuk rechtspersoon yang berstatus badan hukum, bila memperhatikan hukum perdata di Indonesia khususnya di lapangan hukum perusahaan dikenal beberapa bentuk yaitu koperasi, yayasan dan perseroan terbatas. Sedangkan untuk rechtspersoon yang berstatus bukan badan hukum terdiri dari perkumpulan, paguyuban sosial kemanusiaan, persekutuan perdata yang bergerak dibidang agama dan pendidikan (misalnya kelompok belajar, bermain atau olahraga), persekutuan perdata di bidang ekonomi misalnya comanditaire venootschaap atau lazim dikenal dalam masyarakat kita dengan sebutan CV, Firma, Usaha Dagang (UD), dan bentuk lain yang serupa dengan itu yang berada di luar status badan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas.Dalam tulisan ini penulis membatasi pembahasan hanya pada rechtspersoon yang berstatus badan hukum terutama bergerak di bidang ekonomi murni yaitu perseroan terbatas. Perseroan terbatas menurut hukum positif di Indonesia yaitu Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 diartikan sebagai berikut :“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.”Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa perseroan adalah badan hukum yang berbasiskan modal dasar berupa sero/saham/andiil yang dibentuk berdasarkan perjanjian. Perlu dicermati bahwa negara Indonesia merupakan penganut system ekonomi Pancasila dimana dalam hal penguasaan aspek ekonomi oleh negara tidak mutlak berada dalam tangan penyelenggara negara (sistem ekonomi komunis[2]) sekaligus bukan pula membiarkan secara liar bagi warga Negara untuk melaksanakan aktifitas ekonomi guna pencapaian tujuan ekonominya masing-masing dengan cara menghalalkan segala cara (sistem ekonomi liberal/kapitalis[3]), namun sistem ekonomi yang dianut di Indonesia ini merupakan jalan tengah dari kedua sistem ekonomi yang mayoritas dianut oleh negara lain di dunia. Hal ini dapat dibuktikan melalui pengaturan tentang perseroan terbatas dimana secara tegas negara memberikan kebebasan dari sisi materiil bagi para pihak pembentuk perseroan tersebut dengan ikatan hukum berupa janji namun disisi lain negara juga menunjukkan otoritas dia sebagai pembuat hukum dengan mengadakan unifikasi hukum khususnya di bidang hukum formalnya yaitu dalam hal prosedur kelembagaan dan pembuatan perseroan terbatas negara telah menrancang sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan kedudukan antara warga negara dengan negara.Namun demikian di dalam suatu kelembagaan ekonomi terkait pula dengan ketatalaksanaan ideologi ekonomi yang dianut, jika penulis dapat memberikan perumpamaan antara kelembagaan ekonomi dan ideologi ekonomi maka dapat digambarkan sebagai berikut, kelembagaan ekonomi adalah tubuh yang berada dalam alam materi atau alam nyata sedangkan ideologi ekonomi adalah jiwa yang menggerakkan kelembagaan ekonomi. Adalah hal yang mustahil untuk dapat mencapai tujuan ekonomi yang dirancang oleh pihak pendiri suatu lembaga usaha/ekonomi jika secara kelembagaan ekonomi bercorak sosialis namun digerakkan oleh orang-orang yang beridiologikan kapitalis dan liberal. Tanpa bermaksud menilai negatif atau positif terhadap suatu ideologi ekonomi, penulis memberikan pandangan bahwa ideologi itu berkaitan dengan kultur bangsa suatu negara maka, sedangkan salah satu yang mewarnai kultur bangsa dalam kehidupan sehari-hari adalah agama, maka penulis berpandangan apabila semakin modern dan diikuti sikap individual yang dikembangkan masyarakatnya maka sedikit banyak akan tergambar dalam pola ekonomi suatu negara.Kembali kepada kelembagaan ekonomi, dewasa ini terdapat beraneka ragam sektor ekonomi yang digerakkan oleh badan usaha berstatus badan hukum, misalnya saja di bidang perbankan. Dimana dewasa ini secara nyata ditemukan praktek bank yang menjalankan dua sistem dalam hal prinsip ekonominya contohnya terdapat bank yang menjalan prinsip kerjanya dengan berbasis interest[4] (bunga) dalam kegiatan usahanya namun selain itu juga menjalankan unit usaha yang berbasis ekonomi Islam atau bahkan memiliki anak usaha yang basis sistem ekonominya berbeda atau bertolak belakang dengan perusahaan induknya. Mencermati hal itu negara yang secara hukum memiliki otoritas untuk memecahkan masalah yang terdapat di masyarakat mengambil sikap tegas dalam bidang Perseroan Terbatas dimana dikenalkan pranata hukum pemisahan/spin off dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang baru yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yang mengganti Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1995. Adapun dalam keseharian, pranata hukum yaitu spin off / pemisahan tidak atau belum lazim digunakan dalam dunia usaha, walaupun demikian spin off secara materiil telah dilakukan jauh sebelum UU Nomor 40 Tahun 2007 ditetapkan.b. PermasalahanBerdasarkan uraian di atas terdapat permasalahan yang perlu dikaji lebih lanjut tentang pranata hukum spin off tersebut yaitu :1. Mengapa spin off perlu dilakukan dalam suatu perseroan terbatas ?2. Bagaimanakah peranan pranata spin off bagi perkembangan dunia usaha ?

BAB II
TINJAUAN UMUM
Badan hukum dalam khazanah ilmu hukum dikenal sebagai salah satu bentuk subjek hukum yang disebut dengan rechtspersoon. Rechtspersoon adalah berasal dari bahasa Belanda yang bila diartikan secara bebas bermakna ‘orang hukum[5]’. Namun untuk memberikan ketegasan dan sisi pembeda antara bahasa sosiologis dan bahasa hukum maka diartikan sebagai badan hukum. Namun dalam hal ini penulis ingin memberikan penjelasan tentang makna rechtspersoon. Rechtspersoon secara harafiah diartikan sebagai orang dalam pandangan hukum. Dikatakan demikian karena rechtspersoon memiliki pengakuan oleh hukum dan dibebani kewajiban dan hak sama halnya dengan orang. Selain itu juga dibidang harta kekayaan badan hukum juga memiliki kekayaan tersendiri sebagaimana serupa dengan pribadi kodrati (naturlijke persoon) dan memiliki domisili tersendiri. Dengan demikian badan hukum disejajarkan kedudukannya sebagaimana layaknya orang dikarenakan adanya pengakuan oleh hukum.Adapun pengertian badan hukum dapat diperhatikan pendapat dari sarjana yaitu :[6]1. R. Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan tersendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.2. R. Rochmat Sumitro, mengemukakan badan hukum ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.3. Sri Soedewi Maschun Sofwan, badan hukum yaitu kumpulan dari orang-orang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang tersendiri untuk tujuan tertentu.4. Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, pribadi hukum ialah suatu badan yang memiliki harta kekayaan yang terlepas dari anggota-anggotanya, dianggap sebagai subjek hukum karena mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai tanggung jawab dan memiliki hak-hak serta kewajiban-kewajiban, memiliki kekayaan tersendiri, mempunyai pengurus atau pengelola dan dapat bertindak sendiri sebagai pihak di dalam suatu perjanjian.5. Wirjono Prodjodikoro, badan hukum yaitu badan yang di samping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.6. J.J. Dormeier, badan hukum adalah :- persekutuan orang-orang, yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang saja;- yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk suatu maksud yang tertentu.Dari pendapat-pendapat di atas, dapatlah disimpulkan tentang pengertian badan hukum sebagai subjek hukum mencakup hal berikut :[7]- perkumpulan orang (organisasi);- dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);- mempunyai harta kekayaan tersendiri;- mempunyai pengurus;- mempunyai hak dan kewajiban;- dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan. Dengan demikian badan hukum itu adalah segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Setelah mengetahui pengertian badan hukum berikut peristilahannya, perlu diketahui pula pembagian badan hukum. Badan hukum secara umum dibagi menurut beberapa kriteria yaitu :[8]1. Pembagian badan hukum menurut macam-macamnya.2. Pembagian badan hukum menurut jenis-jenisnya.3. Pembagian badan hukum menurut sifatnya.Adapun penjelasannya sebagai berikut :1. Pembagian badan hukum menurut macam-macamnya, terdiri dari :a. badan hukum orisinil (murni/asli), yaitu negara, contohnya negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945;b. badan hukum yang tidak orisinil (tidak murni/asli), yaitu badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata.Pasal 1653 KUH Perdata :“Selanjutnya perseroan yang sejati (eigenlijke maatschap) oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik.”2. Pembagian badan hukum menurut jenis-jenisnya, terdiri dari :badan hukum publik yaitu negara, yang dalam hal ini dalam penentuan kriteria badan hukum publik ini perlu diperhatikan kriteria sebagai berikut :- dilihat dari cara pendiriannya/terjadinya, artinya badan hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa (negara) dengan undang-undang atau peraturan lainnya;- lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik/umum melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata, artinya bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik/umum atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum itu merupakan badan hukum publik;- mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang didirikan oleh penguasa (negara) itu diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik maka ia adalah badan hukum publik.Adapun badan hukum publik terbagi lagi menjadi dua yaitu :1) badan hukum yang mempunyai teritorial, misalnya propinsi, atau perkumpulan pengairan di Bali- Subak.2) badan hukum yang tidak mempunyai teritorial adalah suatu badan hukum yang dibentuk oleh yang berwajib hanya untuk tujuan tertentu saja, contohnya Bank Indonesia.b. badan hukum perdata, dalam badan hukum perdata yang terpenting ialah badan-badan yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang-perorangan.Contoh badan hukum perdata yaitu perkumpulan, yayasan, koperasi, dan perseroan terbatas.Yang perlu diperhatikan di sini adalah badan hukum merupakan terjemahan dari rechtspersoon bukan dalam hal status hukumnya.4. Pembagian badan hukum menurut sifatnya, terdiri dari :a. korporasi yaitu badan hukum yang terdiri dari gabungan orang yang bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri dan bertujuan ekonomis, serta masing-masing anggota memiliki kekayaan sendiri-sendiri atas korporasi tersebut (inbreng).b. yayasan yaitu badan hukum yang tidak memiliki keanggotaan, namun diwakili oleh pengurus dan memiliki tujuan altruistic/bukan bersifat ekonomis.Adapun dalam Bab I tulisan ini, penulis telah menjelaskan bahwa badan hukum itu didasarkan selain karena aturan undang-undang juga dibentuk secara materiil melalui perjanjian. Dalam KUH Perdata hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 1618 sampai dengan 1665. Namun perlu diketahui secara khusus tentang kelembagaannya Perseroan Terbatas diatur khusus oleh UU Nomor 40 Tahun 2007, sedangkan perjanjian persekutuan dalm KUH Perdata merupakan hukum materiil yang sifatnya fakultatif dalam pembuatan ‘aturan interen’ dalam tubuh Perseroan Terbatas itu sendiri. Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam UU Perseroan Terbatas terdapat ketegasan dan keharusan dalam pembuatan kelembagaan perseroan terbatas namun dari sisi hukum materiilnya (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dikembalikan dalam pola perjanjian)[9].Adapun pengaturan tentang perjanjian tentang pembentukan persekutuan dalam KUH Perdata ini tidaklah wajib untuk diikuti secara per se namun rambu-rambu utamanya tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 1320, 1338 dan 1339 KUH Perdata.

BAB III
PEMBAHASAN
Dalam aktivitas ekonomi, para pelakunya berorientasi untuk mencari laba yang maksimal yang tentu saja harus sesuai dengan skala usahanya berikut infrastruktur pendukung usahanya (modal, peralatan dan perlengkapan termasuk pola transaksi, teknologi, status badan usaha, bentuk badan usaha, jaringan usaha, kemampuan manajerial dan skils individu dari pengendali/pengurus badan usaha). Semakin besar skala usaha dan didukung oleh infra struktur pendukung usahanya, maka akan semakin besar pula dalam hal peluang mencetak labanya. Seiring dengan besaran usaha tersebut dalam operasional suatu badan usaha terutama badan usaha yang berstatus badan hukum dalam hal ini perseroan terbatas tentu kerapkali harus menentukan sikap dalam upaya peningkatan skala usahanya yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam rangka mencetak laba.Disebabkan perseroan terbatas merupakan badan hukum yang berorientasi murni mencari keuntungan, maka ia memiliki perilaku hukum yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan badan usaha yang berstatus badan hukum lainnya (bandingkan dengan yayasan atau koperasi). Utuk itulah terdapat perubahan dalam pengaturan di bidang hukum perseroan terbatas, dengan ditetapkannya undang-undang perseroan terbatas yang baru yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007.Bila dibandingkan dengan Undang-undang Perseroan Terbatas yang lama (UU Nomor 1 Tahun 1995) maka secara nyata terdapat suatu hal yang baru dalam pranata hukumnya yaitu diperkenalkannya pranata hukum pemisahan atau spin off dalam rangka upaya peningkatan atau mencapai tujuan perseroan secara maksimal. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pemisahan/spin off, perlu kiranya terlebih dahulu dipahami pengertian dan letak pengaturan spin off dalam hukum positif di Indonesia.Secara yuridis formal (peraturan perundang-undangan) peristilahan spin off/pemisahan dikenal dalam ketentuan Pasal 1 angka 12, yaitu :“Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih.”Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa, pemisahan atau spin off adalah suatu tindakan hukum yang bertujuan untuk memisahkan diri yang terjadi sebelumnya dalam suatu badan hukum kemudian ia ‘memekarkan’ atau ‘membelah diri’ dengan pengakuan hukum atas pemekaran atau pembelah diriannya tersebut. Kondisi pembelahdiriannya atau pemekaran badan hukum dalam bentuk perseroan terbatas tersebut diawali dengan kehendak dari para pihak yang tertuang dalam kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang memiliki kewenangan dalam organ perseroan tersebut.Adapun dalam Undang-undang Perseroan terbatas Tahun 2007 organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris (lihat Pasal 1 angka 2 UU Nomor 40 Tahun 2007).Sedangkan berturut-turut pengertian organ perseroan adalah sebagai berikut :- Rapat Umum Pemegang Saham adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. (Pasal 1 angka 4 UU No.40 Tahun 2007)- Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. (Pasal 1 angka 5 UU No.40 Tahun 2007)- Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. (Pasal 1 angka 6 UU No.40 Tahun 2007)Berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh Organ Perseroan tersebutlah spin off/pemisahan badan hukum dapat dilakukan. Secara praktek sebagaimana penulis amati di kenyataan, spin off ini memiliki dua bentuk, hal ini sesuai dengan aturan Pasal 135 UU Nomor 40 Tahun 2007 yaitu tentang penggolongan cara pemisahan/spin off yaitu :1. original spin off/pemisahan murni, dan2. quasy[10] spin off/pemisahan semu/tidak murni. Adapun penggolongan spin off tersebut bertendensi secara hukum sebagai berikut :1. original spin off/pemisahan murni, akan mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan pemisahan usaha tersebut berakhir karena hukum.2. quasy spin off/pemisahan semu/tidak murni, akan mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain atau lebih menerima peralihan, dan Perseroan yang melakukan pemisahan/spin off tersebut tetap ada.Mengenai peristilahan spin off secara yuridis normatif dan keilmuan hukum terdapat perbedaan yang cukup berarti. Kalau dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 istilah spin off hanya ditujukan untuk quasy spin off/pemisahan tidak murni/semu. Sedangkan spin off menurut keilmuan hukum merupakan pada padan kata dari pranata hukum pemisahan.Sehingga jika dibuat perbandingan tentang peristilahan spin off akan dapat diperoleh matrik sebagai berikut :
SPIN OFF MENURUT TEORITISSPIN OFF MENURUT UUPT 2007
Mencakup original spin off dan quasy spin offHanya ditujukan pada quasy spin off. Menurut penulis mengenai perbedaan tersebut penulis memandang bahwa dari segi teoritis peristilahan spin off merupakan simbol pranata hukum dalam bidang hukum perusahaan sebagai padu padan kata “pemisahan” (badan hukum/rechtspersoon) bukan dalam lingkup status dari badan usaha (badan hukum atau bukan badan hukum) tersebut, sedangkan ditinjau dari yuridis formal (penjelasan Pasal 135 ayat (1) huruf b) peristilahan spin off hanya diperuntukkan untuk pad padan kata dari pemisahan tidak murni. Secara logis kalau legislative memandang demikian, timbul permasalahan bagaimanakah dengan peristilahan dalam bidang keilmuan hukum untuk padu padan kata dari istilah pranata hukum “pemisahan” (badan hukum) ? Berdasarkan hal itu penulis memandang untuk hal peristilahan spin off adalah padu padan kata yang tepat dalam hal peralihan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia untuk menyatakan lembaga/pranata hukum “pemisahan” (badan hukum).Selain masalah peristilahan sebagaimana telah dijelaskan di atas, perlu pula dicermati tentang maksud kalimat “beralih secara hukum” sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 135 UU Nomor 40 Tahun 2007. Menurut penjelasan Pasal tersebut yang dimaksud dengan “beralih secara hukum” adalah beralih berdasarkan titel umum sehingga tidak diperlukan akta peralihan. Dengan demikian sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa spin off dilakukan atas dasar kesepakatan dari Organ Perseroan, maka tepat kiranya dalam hal pelaksanaan kebijakan perseroan cukup dengan didasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang disetujui Organ Persero lainnya (cukup dengan sikap setuju untuk melaksanakan spin off saja tidak perlu akta pemisahan badan hukum). Hal inilah juga yang menjadi pembeda antara pranata hukum perusahaan bila dibandingkan dengan pranata merger, akuisisi, dan konsolidasi (untuk jelasnya dapat diketahui berdasarkan ketentuan Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 sampai dengan 131 UU Nomor 40 Tahun 2007).Pasal 128 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2007 :“Rancangan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan yang telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan yang dibuat dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia.”Dari isi Pasal 128 ayat (1) di atas dapat dicermati bahwa Pemisahan tidak disyaratkan harus dengan akta, disebabkan dari susunan bahasa terdapat tanda baca koma (,) diikuti kata “atau” yang berarti bukan dalam makna yang sejajar atau serupa dengan kata-kata sebelumnya. Selain itu menurut penulis secara jelas dan tegas tentang ketidakharusan penuangan ke dalam akta dalam hal peralihan hukum pada saat dilaksanakannya spin off didasarkan pada ketentuan Pasal 129 sampai dengan Pasal 131 UU Nomor 40 Tahun 2007 yang secara logis disebutkan kata “salinan akta” (Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan). Dari kata “salinan akta” jelas bahwa salinan akta merupakan turunan dari akta, yang berarti hal tersebut diharuskan dengan tindakan hukum berupa penuangan perbuatan hukum melalui media tulisan yang otentik atau disyaratkan oleh hukum yaitu akta.Alasan Spin Off Perlu dilakukan dalam Suatu Perseroan TerbatasDalam praktek perseroan terbatas di Indonesia, pranata hukum spin off lazim dilakukan dalam dunia perbankan hal ini dapat dilihat dalam praktek spin off khususnya berkaitan dengan masalah operasional lembaga bank itu sendiri. Diketahui bahwa secara global dan mayoritas di Indonesia sistem ekonomi yang yang menggerakkan lembaga perbankan adalah sistem ekonomi konvensional yang ditandai dengan diterapkannya ekonomi pendapatan dan pembiayaan berbasis bunga (interest), sedangkan dilain pihak, mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam yang dalam aturan agamanya diharuskan untuk meninggalkan ekonomi berbasis bunga (interest/riba) sebagaimana difirmankan dalam Al Quran pada Surat Al Baqarah ayat 275 dan dipertegas lagi dalam ayat 278.Al Quran Surat Al Baqarah ayat 275 :[11]“Orang-orang yang memakan riba (keuntungan yang diperoleh dengan cara meminjamkan uang atau benda dengan syarat pengembaliannya harus lebih) tiada berdirinya orang yang kemasukan setan dengan sentuhan kepadanya (maksudnya orang yang makan riba tidaktentram jiwanya, mereka seperti orang yang kemasukan setan/gila) yang denikian itu karena mereka berkata : “sesungguhnya jual beli sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Maka barangsiapa menerima pelajaran dari Tuhannya, lalu berhenti (melakukan riba) maka baginya apa yang telah lalu dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa kembali (melakukannya), mereka adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”Al Quran Surat Al Baqarah ayat 278 :“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.”Berdasarkan hal ini, maka dari sisi hukum bagi masyarakat yang beragama Islam terdapat pertentangan sikap batin, hal ini disebabkan secara nyata mereka membutuhkan lembaga bank untuk mempermudah dalam transaksi ekonomi mereka sehari-hari namun di sisi lain mereka sebenarnya tidak menginginkan penerapan basis ekonomi yang digunakan pada lembaga bank yang mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari. Pertentangan dari aspek ideologi inilah yang bila dicermati dari sisi hukum perusahaan, perlu dilakukan pemisahan/spin off. Selain itu dalam sistem pola operasional dilakukannya spin off bertujuan untuk menjaring konsumen yang memiliki pangsa pasar yang berbeda dari perusahaan induknya yang eksis sebelum terjadi pemisahan perusahaan, misalnya saja dalam praktik di Indonesia terdapat pemisahan usaha antara Bank Mandiri dengan Bank Syariah Mandiri yang dalam hal ini berlaku pranata hukum original spin off. Dimana secara permodalan, pembukuan, manajerial, dan tipe nasabah/konsumen jasa perbankan memiliki perbedaan yang mendasar yaitu dipisahkan oleh ideologi ekonomi yang dianut oleh nasabah /konsumen itu sendiri. Adapun contoh dalam tataran praktik spin off yaitu pada saat suatu bank memperluas jaringan usaha melalui pembukaan unit usaha yang tidak secara utuh dari sisi hukum lepas dari badan usaha pokoknya/induknya, seperti dapat dicontohkan Bank Rakyat Indonesia yang membuka Unit Usaha Syariah, yang dicontohkan terakhir ini merupakan terapan dari pranata hukum quasy spin off. Dengan demikian alasan utama dilakukannya spin off dari sisi bisnis adalah untuk memperluas pangsa pasar akibat dari adanya perbedaan ideologi ekonomi bagi masyarakat pengguna jasa perbankan tersebut yang bila dialihkan dalam istilah lainnya adalah adanya perbedaan visi dan misi dari kelembagaan perbankan tersebut.Peranan Pranata Spin Off bagi perkembangan Dunia UsahaSebagaimana sama halnya dengan pranata hukum merger, konsolidasi dan akuisisi, inti dari dilakukannya spin off adalah semata-mata bila dilihat dari aspek bisnis adalah untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Namun bila ditelaah lebih lanjut sebenarnya baik pranata hukum merger, konsolidasi, akusisi dan spin off memiliki peranan yang berarti dalam perkembangan dunia usaha. Peranan tersebut adalah berkaitan dangan kemampuan menyerap konsumen akibat dari banyaknya jumlah badan usaha yang berbadan hukum yang terdapat di masyarakat, yang berarti hal ini memberikan peluang bagi masyarakat dalam melakukan pilihan-pilihan dalam kapasitas menjalankan hak dia sebagai konsumen. Selain itu dari sisi angkatan kerja/usia produktif, dengan adanya lembaga spin off ini memiliki peranan untuk menyerap tenaga kerja yang berarti membantu negara dalam rangka mengurangi pengangguran, yang dilihat dari aspek sosiatrinya (ilmu tentang kejiwaan masyarakat) akan mengurangi angka penyakit masyarakat sebagai akibat ada pengangguran.Dari sisi pendapatan negara bila spin off ini dilaksanakan dengan tepat dan berjalan dengan baik tentu akan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak dan retribusi. Hal ini terjadi sebagai akibat konsekuensi logis pertambahan subjek pajak berupa badan yang secara otomatis terbentuk karena adanya pranata hukum spin off. Semakin banyak dari sisi kuantitas dan kualitas subjek pajak penghasilan dari badan akibat dari aktifitas pranata hukum spin off, maka akan meningkatkan volume pendapatan negara dari sektor pajak dan retribusi.

BAB IV
PENUTUP
a.Kesimpulan
Alasan spin off perlu dilakukan dalam suatu perseroan terbatas adalah untuk memperluas pangsa pasar kegiatan bisnis yang disebabkan perbedaan kehendak konsumen dalam penggunaan barang dan jasa pada pelayanan dari badan usaha, yang berakar dari perbedaan ideologi ekonomi.Peranan pranata spin off bagi perkembangan dunia usaha adalah meningkatkan arus binis sebagai akibat pemekaran kelembagaan bisnis, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja, peningkatan sektor pajak dan retribusi akibat banyaknya/penambahan subjek pajak.
b. Saran
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia pranata hukum spin off, hanya dikenal untuk Perseroan Terbatas, menurut penulis alangkah baiknya jika spin off ini tidak eksklusif hanya untuk Perseroan terbatas saja tetapi juga untuk rechstpersoon yang dalam artian luas, baik ia berstatus badan hukum maupun bukan badan hukum, mengingat efek positif dari dilakukannya pemisahan badan hukum (rechtspersoon) ini tidak kecil.

DAFTAR PUSTAKA
A.BUKU
A.Nadzri Adlany et.al, Al Quran Terjemahan Indonesia, Sari Agung, Jakarta, 2002, Cetakan XVII
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1999
Deliarnov, Ekonomi Politik, Erlangga, Jakarta, 2006
Dhanny R. Cyssco, Himpunan Istilah Akuntansi, Puspa Swara, Jakarta, 2005
Johannes Ibrahim & Lindawati Sewu, Hukum Bisnis dalam Perspektif Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2007
Suharnoko, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan XIV, 1981
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[1] Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1999, Hlm.7
[2] Deliarnov, Ekonomi Politik, Erlangga, Jakarta, 2006, Hlm.41
[3] Ibid. Hlm.166
[4] Dhanny R. Cyssco, Himpunan Istilah Akuntansi, Puspa Swara, Jakarta, 2005, Hlm.41
[5] Pengertian rechtspersoon ini merupakan pemahaman secara harafiah dari penulis namun demikian bila diperhatikan pendapat dari kepustakaan hukum baik yang ditulis oleh Subekti, Chidir Ali, dan Wirjono Prodjodikoro ditemukan pengertian secara harafiah yang serupa namun dalam penjabaran yang berbeda dengan penulis.
[6] Chidir Ali, Op.cit. Hlm.19-21
[7] Ibid. Hlm.21
[8] Ibid. Hlm. 55
[9] Lihat juga pendapat Suharnoko, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, Hlm.124-126
[10] Istilah quacy penulis adopsi dari peristilahan dalam hukum kontrak pada common law sebagaimana ditulis oleh Johannes Ibrahim & Lindawati Sewu, Hukum Bisnis dalam Perspektif Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, 2007, Hlm.82
[11] A. Nadzri Adlany et.al, Al Quran Terjemahan Indonesia, Sari Agung, Jakarta, 2002, Cetakan XVII